Sabtu, 27 Oktober 2012

Ziarah ke Panti Doa Gua Maria Lawangsih dan Gua Maria Ratu Perdamaian Sendang Jatiningsih

Sebagai bentuk kecintaan para anggota PPM "Sang Bintang Timur", maka pada tanggal 26 Oktober 2012, para anggota PPM melakukan ziarah (Wisata Rohani) ke Panti Doa Gua Maria Lawangsih dan Gua Maria Ratu Perdamaian Sendang Jatiningsih. 
Sebanyak 30 anggota PPM mengikuti ziarah ini.Masing-masing anggota dengan penuh semangat mengikuti semua acara yang diadakan.
Kami berkumpul di depan Garasi Bus Maharani pada pukul 07.00 pagi, dan setelah semua siap, segera Bapak Harsono memimpin doa mohon keselamatan selama perjalanan, sehingga akhirnya pulang dengan selamat dapat berkumpul kembali bersama seluruh keluarga.

Panti Doa Gua Maria Lawangsih


Gua Maria Lawangsih terletak di Perbukitan Menoreh, perbukitan yang memanjang, membujur di perbatasan Jawa Tengah dan DIY, (Kabupaten Purworejo dan Kulon Progo). Di tengah perbukitan Menoreh, bertahtalah Bunda Maria Lawangsih (Indonesia: Pintu/Gerbang Berkat/Rahmat). Gua Maria Lawangsih berada di dusun Patihombo, Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo. Secara gerejawi, masuk wilayah Stasi Santa Perawan Maria Fatima Pelemdukuh, Paroki Santa Perawan Maria Nanggulan, Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang. Lokassi Goa Lawangsiih hanya berjarak 20 km dari peziarahan Katolik Sendangsono, 13 km dari Sendang Jatiningsih Paroki Klepu.
   
SEJARAH
Goa Maria Lawangsih adalah Goa Maria yang pada awalnya adalah sebuah goa Lawa (Goa yang penuh dengan Kelelawar), yang memang diyakini sudah diketahui oleh penduduk sekitar sebagai tempat petani mencari pupuk dari kotoran Kelelawar. Sebelum ditetapkan sebagai Goa Maria, goa ini adalah sebuah goa alami biasa yang merupakan tempat tinggal kelelawar. Dalam bahasa Jawa kelelawar disebut “Lawa”. Goa ini dihuni oleh banyak kelelawar, maka tidak heran bila nama goa ini adalah Goa Lawa.Tidak diketahui secara pasti, kapan Goa Lawa ini dimasuki oleh penduduk.
Awalnya, Goa Lawa hanyalah tanah grumbul (semak belukar) yang memiliki lubang kecil di pintu goa (+1 m2), namun lorong-lorongnya bisa dimasuki oleh manusia untuk mencari kotoran Kelelawar sampai kedalaman yang tidak terhingga. Namun karena faktor tidak adanya penerangan dan suasana dalam goa yang pengap, maka tidak banyak penduduk yang bisa masuk ke dalam goa. Pada tahun 1990-an, Goa Lawa sempat dijadikan oleh Muda-Mudi Stasi Pelemdukuh untuk tempat memulai berdoa Jalan Salib (Stasi), namun setelah itu tidak ada perkembangan yang berarti sampai tahun 2008.
Pada bulan Juli 2008, Goa Lawa yang semula milik keluarga T. Supino (Ketua Stasi SPM Fatima Pelemdukuh), telah dihibahkan kepada Gereja. Pembangunan Goa Maria Lawangsih untuk menjadi tempat berdoa (Panti Sembahyang) adalah atas inisiatif Romo Paroki Santa Perawan Maria Tak Bernoda Nanggulan ini yaitu Romo Ignatius Slamet Riyanto, Pr, setelah beberapa kali masuk dan meneliti kemungkinan Goa Lawa menjadi tempat doa. Pada awalnya, Romo Ignatius Slamet Riyanto, hanya ingin menjadikan tempat yang awalnya “dianggap keramat” oleh penduduk sekitar, menjadi tempat yang nyaman bagi umat sekitarnya untuk berdoa. Namun rupanya ada banyak orang yang tahu dari mulut ke mulut (Jawa: gethok tular) tentang keberadaan tempat ziarah ini, sehingga makin lama semakin banyak peziarah yang datang dari Bandung, Surabaya, Lampung, Jakarta, Semarang, dan kota-kota besar lainnya, bahkan berdasarkan data dari buku tamu yang disediakan beberapa kali ada peziarah dari luar negeri (Belanda, Perancis dan Australia) yang datang ke sana.
Pembangunan yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh umat dan didukung keinginan umat untuk memiliki tempat berdoa di tempat terbuka dan memiliki sumber air, begitu besar, sehingga membuat hibah tanah dan Goa Lawa menjadi suatu pilihan yang menarik untuk ditindaklanjuti. Langkah yang diambil pihak Gereja adalah dengan dibangunnya goa tersebut menjadi suatu tempat berdoa yang diinginkan umat. Sejak saat itu, tanah di sekitar Goa Lawa dibersihkan, yang pada awalnya hanyalah sebuah lubang/goa kecil, tanah yang berada di sekitarnya digali, hingga akhirnya lubang di sekitar goa bisa menjadi seperti saat ini. Batu besar ( + 8m2) dan tanah yang menutup lubang goa perlahan-lahan dibongkar dan dibersihkan.
Pengerjaan Goa tidak menggunakan alat-alat berat/modern. Di sinilah mukjizat itu terjadi. Selama hampir satu tahun, umat Katolik dan warga sekitar Goa Lawa bekerja bersama, menggali tanah, mengangkat, membersihkan dan membuat Goa menjadi seperti saat ini. Semua dilakukan dengan penuh semangat, kerjasama dan pelayanan. Nama Goa Lawa ingin dipertahankan oleh umat, agar menjadi prasasti bagi tempat peziarahan umat Katolik. Akhirnya, Goa Lawa diberi nama baru: GOA MARIA LAWANGSIH.
Lawangsih dapat diartikan demikian. Kata Lawang dalam Bahasa Jawa mengandung arti pintu, gapura atau gerbang. Kata sih (asih) artinya kasih sayang, cinta, berkat, rahmat. Secara rohani, Lawangsih menunjuk makna Bunda Maria sebagai gerbang surga, pintu berkat. Dalam keyakinan kita, Bunda Maria adalah perantara kita kepada Yesus (per Maria ad Jesum), Putranya yang telah menebus dosa manusia dan membawa pada kehidupan kekal.
Pada bulan Mei 2009, untuk pertama kalinya Goa Lawa ini dipakai menjadi tempat Ekaristi penutupan Bulan Maria, namun dengan memakai tempat dan peralatan seadanya. Barulah pada tanggal 01 Oktober 2009, tempat peziarahan ini dibuka untuk umum dan diresmikan oleh Rm. Ignatius Slamet Riyanto, Pr. Patung Bunda Maria yang merupakan bantuan dari donatur, ditahtakan di dalam goa. Sebelum Patung Bunda Maria diboyong dan ditahtakan di Goa Maria Lawangsih, selama 3 hari, setiap malam umat “tirakat” dan berdoa Novena serta banyak umat yang “lek-lek-an” (laku prihatin) di Goa Maria Lawangsih untuk memohon karunia Roh Kudus agar menjadikan Goa Maria Lawangsih menjadi tempat bagi semua orang yang datang ke sana, mendapatkan berkat, memperoleh kekuatan rohani dan semakin dekat dengan Yesus melalui Maria. (Per Mariam Ad Jesum. Melalui Maria sampai pada Yesus). Romo Ignatius Slamet Riyanto, Pr pun selama selama 3 malam berturut-turut juga ikut bergabung dan berdoa bersama umat, tirakat di Goa Maria Lawangsih.
Perarakan “Mboyong Sang Ibu” diikuti oleh 700an umat Stasi SPM Fatima Pelemdukuh dan sekitarnya. Ekaristi yang dilakukan pada tanggal 01 Oktober 2009 diawali dari Gereja (yang berjarak 500 m), dengan mengarak patung Bunda Maria menuju Goa Maria Lawangsih. Semua umat mengarak Bunda Maria dengan penuh keheningan (wening ing bathin), berdoa di dalam batin mohon karunia Roh Kudus agar memberkati umat dalam peziarahan di dunia ini. Umat juga berdoa agar tempat peziarahan Goa Maria Lawangsih menjadi tempat mereka menimba kekuatan iman, agar mampu menghadapi tantangan kehidupan ini. Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Jawa dan iringan gamelan menambah aura rohani merebak di Goa Maria Lawangsih. Pukul 16. 00 WIB, Bunda Maria diberkati dan ditahtakan. Banyak umat meneteskan air mata, tatkala Sang Ibu, dengan penuh senyum mengundang umat untuk berdoa dengan perantaraannya.
Seusai Ekaristi, umat berhamburan berdoa di hadapan Bunda Maria dan berebut masuk ke dalam Goa Lawangsih, dimana kemahabesaran Allah sungguh nyata. Sebuah karya nan indah dari Sang Arsitek membuat umat terpana. Karya Tuhan sungguh mahaindah. Sebuah goa yang penuh dengan stalagtit dan stalagmit dengan gemercik air yang keluar dari sumber air di dalam Goa. Di sebelah kanan Bunda Maria Lawangsih, ada goa yang cukup luas, memanjang sampai kedalaman yang tak terhingga, penuh dengan suasana sakral. Di belakang Bunda Maria Lawangsih, terdapat goa yang lebih indah dengan sumber air di dalamnya. Sayang, goa ini agak sempit di luarnya, namun semakin ke dalam semakin luas dan penuh dengan pemandangan yang eksotik.
Akhirnya, saat ini umat Paroki SPM Tak Bernoda Nanggulan sudah memiliki Goa Maria Lawangsih sebagai rangkaian dari Goa Maria Pengiloning Leres yang sudah ada. 
Goa Maria Lawangsih sama sekali belum tersentuh oleh pembangunan secara modern, sungguh-sungguh alami. Selain itu, goa ini dibangun oleh umat yang secara sukarela setiap hari bekerja bakti, bahu membahu, saling mendukung dengan kerja tangan mereka. Dengan senyum, canda, dan penuh semangat iman, selama hampir satu tahun umat mengolah tanah grumbul (semak belukar) menjadi tempat peziarahan Maria yang sangat indah, dengan bukit-bukit batu di sekitar goa, dengan stalagtit dan stalagmit di dalam goa, dengan gemercik air yang mengalir tiada henti, meski kemarau yang sangat panjang sekalipun.
Pemandangan alam sekitar juga sangat indah. Sejak masuk ke daerah Nanggulan dan selama perjalanan 13 km dari Nanggulan menuju Goa Maria Lawangsih, peziarah akan melihat pemandangan yang indah, perbukitan Menoreh, Gunung Merapi, dan jika melihat arah selatan akan kelihatan pemandangan Pantai Laut Selatan di kejauhan. Pada malam hari, peziarah akan melihat pemandangan kota Yogjakarta dengan lampu-lampu yang menambah suasana indah di malam hari. Di sekitar lokasi Goa Maria, juga banyak pemandangan indah, banyak pohon-pohon rindang yang semakin menambah asri tempat Bunda Maria bersemayam, menanti umat berdoa dengan perantaraanNya. Keheningan dan suara gemercik air menjadi pendukung peziarah semakin dekat dengan Allah Sang Pencipta.

Setelah semua selesai dengan doanya, maka kami semua melanjutkan perjalanan ke Gua Maria Ratu Perdamaian Sendang Jatiningsih. Tetapi di tengah perjalanan kami berhenti dulu untuk makan siang.


Gua Maria Ratu Perdamaian Sendang Jatiningsih
 
Gua ini berada di Dusun Jitar, Desa Sumber Arum, Kec. Moyudan, Kab. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi atau umum (bus), sekitar 17 km arah barat Tugu Yogyakarta sebelum Jembatan Ngapak di atas Kali Progo.
“Di tempat ini kita meneng, agar wening dan dunung” adalah pesan Bapak Uskup pada tanggal 17 Desember 2000. Di tempat ini kita berdiam diri sejenak, agar dengan keheningan dan kekhusukan kita dapat menyiapkan hati dan batin kita untuk menyapa Allah Yang Maha Kuasa.
Lokasi yang juga tidak jauh dari rumah, membuat kami sangat akrab dengan Gua Maria di mana terdapat sumber mata air “Tirto Wening Banyu Panguripan” yang pernah diberkati oleh Uskup Purwokerto, Mgr. J. Sunarka, S.J. pada tanggal 27 Oktober 2002. Selain untuk meneng, kami dapat menikmati indahnya pemandangan alam di sekitar gua.
Proses pembangunan Gua Maria Sendang Jatiningsih tidak terpisah dari sejarah perkembangan Gereja Katolik ke kawasan ini pada tahun 1952.

Awalnya, masyarakat Dusun Jitar Pingitan rata-rata belum beragama, mereka masih percaya hal-hal yang mistis dan kejawen. Namun sekitar tahun 1950-an, anak-anak mereka yang memeluk agama Katolik sukses dalam pendidikan dan memiliki pekerjaan yang mapan. Hal inilah yang membuat mereka tertarik sehingga memutuskan untuk memeluk agama Katolik. Pada bulan Desember 1952, salah satu penduduk lokal yang sekolah di SD Kanisius Ngapak, FX Dikin dibabtis dan menjadi Katolik. Setahun kemudian, empat rekannya, Ignatius Tentrem, P. Sapardi, B. Semin, dan Taryono dibabtis.

Dalam perkembangannya, jumlah warga yang memeluk agama Katolik semakin banyak. Setiap malam jumat mereka selalu mengadakan persekutuan. Tak hanya beribadah, mereka juga bersama-sama berlatih kesenian tradisional seperti wayang orang, ketoprak, karawitan, dan selawatan. Melihat hal tersebut, Ignatius Purwowidono menghibahkan tanahnya yang terletak di tepi Sungai Progo seluas 800m2 untuk dijadikan tempat ibadah yang beratapkan langit. Dengan swadaya umat, tempat ibadat tersebut mulai dibangun.

Untuk Gua Maria sendiri, awalnya umat hanya akan membuat dalam versi kecil dengan patung setinggi 30 cm. Namun, umat kemudian memutuskan untuk membuat gua dengan ukuran yang lebih besar dan menempatkan patung Bunda Maria yang dibuat oleh seorang pematung asal Muntilan dengan tinggi 165 cm. Batu putih berlubang yang digunakan untuk membuat gua diambil dari bebatuan yang ada di Gunungkidul.

Setelah patung Maria ditahtakan pada 15 Agustus 1986, Gua Maria Sendang Jatiningsih diberkati oleh JB Mardi Kartono, SJ pada 8 September 1986. Dalam perjalanannya, Sendang Jatiningsih tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah warga Jitar, namun mulai dikenal oleh masyarakat luas dan dijadikan sebagai tempat peziarahan. Pada tahun 1999, pengelola sendang melakukan renovasi. Kemudian, pada tanggal 17 Desember 2000, bersamaan dengan misa penutupan tahun Yubellium Agung 2000 dilakukan pemberkatan renovasi Gua Maria Ratu Perdamaian Sendang Jatiningsih oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Dr.Ig. Suharyo Pr. Sejak saat itu hingga sekarang, keberadaan Gua Maria Sendang Jatiningsih semakin dekat di hati umat Katolik.

Suasana sejuk cenderung dingin langsung terasa sejak memasuki pelataran kompleks Gua Maria Sendang Jatiningsih. Sesuai dengan namanya, Jatiningsih, tempat ziarah ini dipenuhi dengan pohon jati yang rimbun. Selain pohon jati, pohon bambu juga memenuhi hampir tiap sudut kompleks sendang. Suara air yang mengalir di Sungai Progo tidak akan mengganggu konsentrasi, melainkan menambah ketenangan suasana. 

Di sebelah kiri altar terdapat Gua Maria dengan pohon-pohon jati yang rimbun di belakangnya. Disinilah para peziarah biasanya berdoa sambil menyalakan sebatang lilin. Tak jauh dari lokasi tersebut, terdapat patung salib besar yang pelatarannya juga digunakan sebagai tempat mendaraskan doa serta perhentian jalan salib.

Disini terdapat sebuah sendang (mata air) yang airnya dialirkan melalui kran-kran. Air yang mengalir di kran ini disebut dengan nama Tirta Wening Banyu Panguripan. Peziarah menggunakan tirta wening ini untuk mencuci muka atau membawanya pulang ke rumah. Setiap bulan Maria yang jatuh pada bulan Mei dan Oktober selalu diselenggarakan misa kudus sebagai pembukaan dan penutupan bulan Maria dan bulan Rosario. Sedangkan agenda rutin yang ada di sendang ini adalah Misa Kudus setiap selasa kliwon dimulai pada pukul 20.00 WIB.

Gua Maria Jatiningsih terletak sekitar 18 km arah barat Tugu Yogyakarta, sebelum jembatan Ngapak di atas Sungai Progo. Lokasi ini dapat ditempuh menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan umum. Jika menggunakan angkutan umum, ambilah kendaraan jurusan Yogyakarta-Dekso dan turun di Terminal Ngapak. Dari terminal Ngapak, naik ojek atau jalan kaki ± 900 meter hingga tiba di Sendang Jatiningsih.

Dengan kendaraan pribadi, sendang ini bisa dicapai dari arah Yogyakarta maupun dari arah Sendangsono. Dari arah Bandara Adi Sucipto Anda dapat menyusuri Jalan Adi Sucipto, Jalan Godean, hingga tiba di Pasar Godean. Dari Pasar Godean Anda terus saja lurus ke barat, tak jauh dari situ Anda akan bertemu dengan terminal kosong dengan papan penunjuk arah berukuran besar bertuliskan Gua Maria Sendang Jatiningsih. Belok ke kiri dan ikuti jalan masuk, tak sampai 10 menit akan sampai di parkiran sendang.

Dari arah Magelang atau Sendangsono, ambil jalur ke arah selatan menuju perempatan Kenteng. Dari perempatan Kenteng Anda belok ke kiri, sekitar 1 km kemudian sampai jembatan Ngapak. Sekitar 500 m dari jembatan Ngapak, ada terminal kosong. Silahkan Beloklah ke kanan dan susuri jalan sekitar 900 m untuk menuju ke lokasi.
Setelah semuanya selesai, kami akhirnya melakukan perjalanan pulang dengan damai dan hati yang penuh dengan suka cita. Foto-foto selengkapnya klik disini.
Ampel, 27 Oktober 2012. Salam....