Sebanyak 30 anggota PPM mengikuti ziarah ini.Masing-masing anggota dengan penuh semangat mengikuti semua acara yang diadakan.
Kami berkumpul di depan Garasi Bus Maharani pada pukul 07.00 pagi, dan setelah semua siap, segera Bapak Harsono memimpin doa mohon keselamatan selama perjalanan, sehingga akhirnya pulang dengan selamat dapat berkumpul kembali bersama seluruh keluarga.
Panti Doa Gua Maria Lawangsih
Gua
Maria Lawangsih terletak di Perbukitan Menoreh, perbukitan yang
memanjang, membujur di perbatasan Jawa Tengah dan DIY, (Kabupaten
Purworejo dan Kulon Progo). Di tengah perbukitan Menoreh, bertahtalah
Bunda Maria Lawangsih (Indonesia: Pintu/Gerbang Berkat/Rahmat). Gua Maria Lawangsih berada di dusun Patihombo, Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo. Secara gerejawi, masuk wilayah Stasi Santa Perawan Maria Fatima Pelemdukuh,
Paroki Santa Perawan Maria Nanggulan, Kevikepan Daerah Istimewa
Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang. Lokassi Goa Lawangsiih hanya
berjarak 20 km dari peziarahan Katolik Sendangsono, 13 km dari Sendang
Jatiningsih Paroki Klepu.
Goa Maria Lawangsih adalah Goa Maria yang pada awalnya adalah sebuah goa Lawa (Goa
yang penuh dengan Kelelawar), yang memang diyakini sudah diketahui
oleh penduduk sekitar sebagai tempat petani mencari pupuk dari kotoran
Kelelawar. Sebelum ditetapkan sebagai Goa Maria, goa ini adalah sebuah
goa alami biasa yang merupakan tempat tinggal kelelawar. Dalam bahasa
Jawa kelelawar disebut “Lawa”. Goa ini dihuni oleh banyak kelelawar,
maka tidak heran bila nama goa ini adalah Goa Lawa.Tidak diketahui
secara pasti, kapan Goa Lawa ini dimasuki oleh penduduk.
Awalnya, Goa Lawa hanyalah tanah grumbul (semak belukar) yang memiliki lubang kecil di pintu goa (+1
m2), namun lorong-lorongnya bisa dimasuki oleh manusia untuk mencari
kotoran Kelelawar sampai kedalaman yang tidak terhingga. Namun karena
faktor tidak adanya penerangan dan suasana dalam goa yang pengap, maka
tidak banyak penduduk yang bisa masuk ke dalam goa. Pada tahun 1990-an,
Goa Lawa sempat dijadikan oleh Muda-Mudi Stasi Pelemdukuh untuk tempat
memulai berdoa Jalan Salib (Stasi), namun setelah itu tidak ada
perkembangan yang berarti sampai tahun 2008.
Pada
bulan Juli 2008, Goa Lawa yang semula milik keluarga T. Supino (Ketua
Stasi SPM Fatima Pelemdukuh), telah dihibahkan kepada Gereja.
Pembangunan Goa Maria Lawangsih untuk menjadi tempat berdoa (Panti Sembahyang)
adalah atas inisiatif Romo Paroki Santa Perawan Maria Tak Bernoda
Nanggulan ini yaitu Romo Ignatius Slamet Riyanto, Pr, setelah beberapa
kali masuk dan meneliti kemungkinan Goa Lawa menjadi tempat doa. Pada
awalnya, Romo Ignatius Slamet Riyanto, hanya ingin menjadikan tempat
yang awalnya “dianggap keramat” oleh penduduk sekitar, menjadi tempat
yang nyaman bagi umat sekitarnya untuk berdoa. Namun rupanya ada banyak
orang yang tahu dari mulut ke mulut (Jawa: gethok tular)
tentang keberadaan tempat ziarah ini, sehingga makin lama semakin
banyak peziarah yang datang dari Bandung, Surabaya, Lampung, Jakarta,
Semarang, dan kota-kota besar lainnya, bahkan berdasarkan data dari
buku tamu yang disediakan beberapa kali ada peziarah dari luar negeri
(Belanda, Perancis dan Australia) yang datang ke sana.
Pembangunan
yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh umat dan didukung keinginan umat
untuk memiliki tempat berdoa di tempat terbuka dan memiliki sumber air,
begitu besar, sehingga membuat hibah tanah dan Goa Lawa menjadi suatu
pilihan yang menarik untuk ditindaklanjuti. Langkah yang diambil pihak
Gereja adalah dengan dibangunnya goa tersebut menjadi suatu tempat
berdoa yang diinginkan umat. Sejak saat itu, tanah di sekitar Goa Lawa
dibersihkan, yang pada awalnya hanyalah sebuah lubang/goa kecil, tanah
yang berada di sekitarnya digali, hingga akhirnya lubang di sekitar goa
bisa menjadi seperti saat ini. Batu besar ( + 8m2) dan tanah yang menutup lubang goa perlahan-lahan dibongkar dan dibersihkan.
Pengerjaan
Goa tidak menggunakan alat-alat berat/modern. Di sinilah mukjizat itu
terjadi. Selama hampir satu tahun, umat Katolik dan warga sekitar Goa
Lawa bekerja bersama, menggali tanah, mengangkat, membersihkan dan
membuat Goa menjadi seperti saat ini. Semua dilakukan dengan penuh
semangat, kerjasama dan pelayanan. Nama Goa Lawa ingin dipertahankan
oleh umat, agar menjadi prasasti bagi tempat peziarahan umat Katolik.
Akhirnya, Goa Lawa diberi nama baru: GOA MARIA LAWANGSIH.
Lawangsih dapat diartikan demikian. Kata Lawang dalam Bahasa Jawa mengandung arti pintu, gapura atau gerbang. Kata sih (asih)
artinya kasih sayang, cinta, berkat, rahmat. Secara rohani, Lawangsih
menunjuk makna Bunda Maria sebagai gerbang surga, pintu berkat. Dalam
keyakinan kita, Bunda Maria adalah perantara kita kepada Yesus (per Maria ad Jesum), Putranya yang telah menebus dosa manusia dan membawa pada kehidupan kekal.
Pada
bulan Mei 2009, untuk pertama kalinya Goa Lawa ini dipakai menjadi
tempat Ekaristi penutupan Bulan Maria, namun dengan memakai tempat dan
peralatan seadanya. Barulah pada tanggal 01 Oktober 2009,
tempat peziarahan ini dibuka untuk umum dan diresmikan oleh Rm.
Ignatius Slamet Riyanto, Pr. Patung Bunda Maria yang merupakan bantuan
dari donatur, ditahtakan di dalam goa. Sebelum Patung Bunda Maria
diboyong dan ditahtakan di Goa Maria Lawangsih, selama 3 hari, setiap
malam umat “tirakat” dan berdoa Novena serta banyak umat yang “lek-lek-an”
(laku prihatin) di Goa Maria Lawangsih untuk memohon karunia Roh Kudus
agar menjadikan Goa Maria Lawangsih menjadi tempat bagi semua orang
yang datang ke sana, mendapatkan berkat, memperoleh kekuatan rohani dan
semakin dekat dengan Yesus melalui Maria. (Per Mariam Ad Jesum.
Melalui Maria sampai pada Yesus). Romo Ignatius Slamet Riyanto, Pr pun
selama selama 3 malam berturut-turut juga ikut bergabung dan berdoa
bersama umat, tirakat di Goa Maria Lawangsih.
Perarakan “Mboyong Sang Ibu”
diikuti oleh 700an umat Stasi SPM Fatima Pelemdukuh dan sekitarnya.
Ekaristi yang dilakukan pada tanggal 01 Oktober 2009 diawali dari
Gereja (yang berjarak 500 m), dengan mengarak patung Bunda Maria menuju
Goa Maria Lawangsih. Semua umat mengarak Bunda Maria dengan penuh
keheningan (wening ing bathin), berdoa di dalam batin
mohon karunia Roh Kudus agar memberkati umat dalam peziarahan di dunia
ini. Umat juga berdoa agar tempat peziarahan Goa Maria Lawangsih
menjadi tempat mereka menimba kekuatan iman, agar mampu menghadapi
tantangan kehidupan ini. Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Jawa dan
iringan gamelan menambah aura rohani merebak di Goa Maria Lawangsih.
Pukul 16. 00 WIB, Bunda Maria diberkati dan ditahtakan. Banyak umat
meneteskan air mata, tatkala Sang Ibu, dengan penuh senyum mengundang
umat untuk berdoa dengan perantaraannya.
Seusai
Ekaristi, umat berhamburan berdoa di hadapan Bunda Maria dan berebut
masuk ke dalam Goa Lawangsih, dimana kemahabesaran Allah sungguh nyata.
Sebuah karya nan indah dari Sang Arsitek membuat umat terpana. Karya
Tuhan sungguh mahaindah. Sebuah goa yang penuh dengan stalagtit dan
stalagmit dengan gemercik air yang keluar dari sumber air di dalam Goa.
Di sebelah kanan Bunda Maria Lawangsih, ada goa yang cukup luas,
memanjang sampai kedalaman yang tak terhingga, penuh dengan suasana
sakral. Di belakang Bunda Maria
Lawangsih, terdapat goa yang lebih indah dengan sumber air di
dalamnya. Sayang, goa ini agak sempit di luarnya, namun semakin ke
dalam semakin luas dan penuh dengan pemandangan yang eksotik.
Akhirnya,
saat ini umat Paroki SPM Tak Bernoda Nanggulan sudah memiliki Goa
Maria Lawangsih sebagai rangkaian dari Goa Maria Pengiloning Leres yang
sudah ada.
Goa
Maria Lawangsih sama sekali belum tersentuh oleh pembangunan secara
modern, sungguh-sungguh alami. Selain itu, goa ini dibangun oleh umat
yang secara sukarela setiap hari bekerja bakti, bahu membahu, saling
mendukung dengan kerja tangan mereka. Dengan senyum, canda, dan penuh
semangat iman, selama hampir satu tahun umat mengolah tanah grumbul
(semak belukar) menjadi tempat peziarahan Maria yang sangat indah,
dengan bukit-bukit batu di sekitar goa, dengan stalagtit dan stalagmit
di dalam goa, dengan gemercik air yang mengalir tiada henti, meski
kemarau yang sangat panjang sekalipun.
Pemandangan alam
sekitar juga sangat indah. Sejak masuk ke daerah Nanggulan dan selama
perjalanan 13 km dari Nanggulan menuju Goa Maria Lawangsih, peziarah
akan melihat pemandangan yang indah, perbukitan Menoreh, Gunung Merapi,
dan jika melihat arah selatan akan kelihatan pemandangan Pantai Laut
Selatan di kejauhan. Pada malam hari, peziarah akan melihat pemandangan
kota
Yogjakarta dengan lampu-lampu yang menambah suasana indah di malam
hari. Di sekitar lokasi Goa Maria, juga banyak pemandangan indah,
banyak pohon-pohon rindang yang semakin menambah asri tempat Bunda
Maria bersemayam, menanti umat berdoa dengan perantaraanNya. Keheningan
dan suara gemercik air menjadi pendukung peziarah semakin dekat dengan
Allah Sang Pencipta.
Setelah semua selesai dengan doanya, maka kami semua melanjutkan perjalanan ke Gua Maria Ratu Perdamaian Sendang Jatiningsih. Tetapi di tengah perjalanan kami berhenti dulu untuk makan siang.
Gua Maria Ratu Perdamaian Sendang Jatiningsih
Gua ini berada di Dusun Jitar, Desa Sumber Arum, Kec. Moyudan, Kab.
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dapat ditempuh dengan kendaraan
pribadi atau umum (bus), sekitar 17 km arah barat Tugu Yogyakarta
sebelum Jembatan Ngapak di atas Kali Progo.
“Di tempat ini kita meneng, agar wening dan dunung” adalah pesan
Bapak Uskup pada tanggal 17 Desember 2000. Di tempat ini kita berdiam
diri sejenak, agar dengan keheningan dan kekhusukan kita dapat
menyiapkan hati dan batin kita untuk menyapa Allah Yang Maha Kuasa.
Lokasi yang juga tidak jauh dari rumah, membuat kami sangat akrab dengan Gua Maria di mana terdapat sumber mata air “Tirto Wening Banyu Panguripan” yang pernah diberkati oleh Uskup Purwokerto, Mgr. J. Sunarka, S.J. pada tanggal 27 Oktober 2002. Selain untuk meneng, kami dapat menikmati indahnya pemandangan alam di sekitar gua.
Lokasi yang juga tidak jauh dari rumah, membuat kami sangat akrab dengan Gua Maria di mana terdapat sumber mata air “Tirto Wening Banyu Panguripan” yang pernah diberkati oleh Uskup Purwokerto, Mgr. J. Sunarka, S.J. pada tanggal 27 Oktober 2002. Selain untuk meneng, kami dapat menikmati indahnya pemandangan alam di sekitar gua.
Proses
pembangunan Gua Maria Sendang Jatiningsih tidak terpisah dari sejarah
perkembangan Gereja Katolik ke kawasan ini pada tahun 1952.
Awalnya,
masyarakat Dusun Jitar Pingitan rata-rata belum beragama, mereka masih
percaya hal-hal yang mistis dan kejawen. Namun sekitar tahun 1950-an,
anak-anak mereka yang memeluk agama Katolik sukses dalam pendidikan dan
memiliki pekerjaan yang mapan. Hal inilah yang membuat mereka tertarik
sehingga memutuskan untuk memeluk agama Katolik. Pada bulan Desember
1952, salah satu penduduk lokal yang sekolah di SD Kanisius Ngapak, FX
Dikin dibabtis dan menjadi Katolik. Setahun kemudian, empat rekannya,
Ignatius Tentrem, P. Sapardi, B. Semin, dan Taryono dibabtis.
Dalam
perkembangannya, jumlah warga yang memeluk agama Katolik semakin
banyak. Setiap malam jumat mereka selalu mengadakan persekutuan. Tak
hanya beribadah, mereka juga bersama-sama berlatih kesenian tradisional
seperti wayang orang, ketoprak, karawitan, dan selawatan. Melihat hal
tersebut, Ignatius Purwowidono menghibahkan tanahnya yang terletak di
tepi Sungai Progo seluas 800m2 untuk dijadikan tempat ibadah yang
beratapkan langit. Dengan swadaya umat, tempat ibadat tersebut mulai
dibangun.
Untuk
Gua Maria sendiri, awalnya umat hanya akan membuat dalam versi kecil
dengan patung setinggi 30 cm. Namun, umat kemudian memutuskan untuk
membuat gua dengan ukuran yang lebih besar dan menempatkan patung Bunda
Maria yang dibuat oleh seorang pematung asal Muntilan dengan tinggi 165
cm. Batu putih berlubang yang digunakan untuk membuat gua diambil dari
bebatuan yang ada di Gunungkidul.
Setelah
patung Maria ditahtakan pada 15 Agustus 1986, Gua Maria Sendang
Jatiningsih diberkati oleh JB Mardi Kartono, SJ pada 8 September 1986.
Dalam perjalanannya, Sendang Jatiningsih tidak hanya digunakan sebagai
tempat ibadah warga Jitar, namun mulai dikenal oleh masyarakat luas dan
dijadikan sebagai tempat peziarahan. Pada tahun 1999, pengelola sendang
melakukan renovasi. Kemudian, pada tanggal 17 Desember 2000, bersamaan
dengan misa penutupan tahun Yubellium Agung 2000 dilakukan pemberkatan
renovasi Gua Maria Ratu Perdamaian Sendang Jatiningsih oleh Uskup Agung
Semarang, Mgr. Dr.Ig. Suharyo Pr. Sejak saat itu hingga sekarang,
keberadaan Gua Maria Sendang Jatiningsih semakin dekat di hati umat
Katolik.
Suasana
sejuk cenderung dingin langsung terasa sejak memasuki pelataran
kompleks Gua Maria Sendang Jatiningsih. Sesuai dengan namanya,
Jatiningsih, tempat ziarah ini dipenuhi dengan pohon jati yang rimbun.
Selain pohon jati, pohon bambu juga memenuhi hampir tiap sudut kompleks
sendang. Suara air yang mengalir di Sungai Progo tidak akan mengganggu
konsentrasi, melainkan menambah ketenangan suasana.
Di
sebelah kiri altar terdapat Gua Maria dengan pohon-pohon jati yang
rimbun di belakangnya. Disinilah para peziarah biasanya berdoa sambil
menyalakan sebatang lilin. Tak jauh dari lokasi tersebut, terdapat
patung salib besar yang pelatarannya juga digunakan sebagai tempat
mendaraskan doa serta perhentian jalan salib.
Disini
terdapat sebuah sendang (mata air) yang airnya dialirkan melalui
kran-kran. Air yang mengalir di kran ini disebut dengan nama Tirta
Wening Banyu Panguripan. Peziarah menggunakan tirta wening ini untuk
mencuci muka atau membawanya pulang ke rumah. Setiap bulan Maria yang
jatuh pada bulan Mei dan Oktober selalu diselenggarakan misa kudus
sebagai pembukaan dan penutupan bulan Maria dan bulan Rosario. Sedangkan
agenda rutin yang ada di sendang ini adalah Misa Kudus setiap selasa
kliwon dimulai pada pukul 20.00 WIB.
Gua
Maria Jatiningsih terletak sekitar 18 km arah barat Tugu Yogyakarta,
sebelum jembatan Ngapak di atas Sungai Progo. Lokasi ini dapat ditempuh
menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan umum. Jika menggunakan
angkutan umum, ambilah kendaraan jurusan Yogyakarta-Dekso dan turun di
Terminal Ngapak. Dari terminal Ngapak, naik ojek atau jalan kaki ± 900
meter hingga tiba di Sendang Jatiningsih.
Dengan
kendaraan pribadi, sendang ini bisa dicapai dari arah Yogyakarta maupun
dari arah Sendangsono. Dari arah Bandara Adi Sucipto Anda dapat
menyusuri Jalan Adi Sucipto, Jalan Godean, hingga tiba di Pasar Godean.
Dari Pasar Godean Anda terus saja lurus ke barat, tak jauh dari situ
Anda akan bertemu dengan terminal kosong dengan papan penunjuk arah
berukuran besar bertuliskan Gua Maria Sendang Jatiningsih. Belok ke kiri
dan ikuti jalan masuk, tak sampai 10 menit akan sampai di parkiran
sendang.
Dari
arah Magelang atau Sendangsono, ambil jalur ke arah selatan menuju
perempatan Kenteng. Dari perempatan Kenteng Anda belok ke kiri, sekitar 1
km kemudian sampai jembatan Ngapak. Sekitar 500 m dari jembatan Ngapak,
ada terminal kosong. Silahkan Beloklah ke kanan dan susuri jalan
sekitar 900 m untuk menuju ke lokasi.
Setelah semuanya selesai, kami akhirnya melakukan perjalanan pulang dengan damai dan hati yang penuh dengan suka cita. Foto-foto selengkapnya klik disini.
Ampel, 27 Oktober 2012. Salam....